Liputan6.com, Jakarta - Pemblokiran situs web
Telegram menuai banyak reaksi pro dan kontra, terutama dari para
warganet. Sebagian tak setuju bahwa pemberantasan terorisme dan
radikalisme harus dilakukan dengan memblokir layanan pesan instan.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel A
Pangerapan menilai bahwa pihaknya telah melakukan pemblokiran sesuai
dengan prosedur, misalnya mengirim surat pemberitahuan untuk memblokir
situs web-nya.
Baca Juga
Ia mengungkap bahwa pemerintah telah mencoba berkomunikasi
dengan mengirimkan surat pemberitahuan via email ke pihak Telegram
sebanyak enam kali, tercatat sejak 29 Maret 2017 hingga 11 Juli 2017.
Namun, email tersebut tidak direspon oleh Telegram.
Adapun pemblokiran situs web ini berdasarkan 17.000 halaman
konten yang memuat percakapan menyangkut radikalisme dan terorisme, yang
saat ini sudah diamankan oleh pihak Kemkominfo.
"Yang kami lakukan itu sudah berdasarkan data dan fakta.
Kami tidak gegabah, kami selalu melakukan kajian dan koordinasi apa yang
bisa dipertanggungjawabkan bangsa dan negara," ujar Semuel ditemui saat
konferensi pers di Jakarta, Senin (17/7/2017).
Pria yang karib disapa Semmy ini menuturkan bahwa kejahatan
terorisme selalu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Makanya, mereka
memanfaatkan layanan dengan tingkat enkripsi tinggi agar tidak
terdeteksi.
"Banyak penyebaran informasi dilakukan lewat aplikasi,
mereka yakin bisa sembunyi. Maka itu, kami ingin memastikan bahwa
kami tidak ingin memberikan ruang gerak bagi terorisme," tuturnya.
Menurut data kasus terorisme sejak 2015-2017, seluruh pelaku
menggunakan Telegram untuk berkomunikasi. Hanya dua kasus yang tidak
(pakai Telegram). Mereka menyalahgunakan kecanggihan teknologi. Itu yang
menjadi dasar kami memblokir situs web Telegram," jelasnya.
(Cas/Isk)
Oleh di Liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar